Sunday 1 March 2015

ASKEP Demam Thypoid

ASKEP Demam Thypoid

BAB 1
PENDAHULUAN

1.1         Latar Belakang
Deman thipoid masih merupakan penyakit endemic di Indonesia. Penyakit ini termasuk penyakit menular yang tercantum dalam Undang-Undang no 6 tahun 1962,tentang wabah. Kelompok penyakit menular ini merupakan penyakit yang mudah menular dan dapat menyerang banyak orang sehingga dapat menimbulkan wabah.Surveilans Departemen Kesehatan RI, frekuensi kejadian deman thipoid di Indonesia pada tahun 1990 sebesar 9,2 dan pada tahun 1994 terjadi peningkatan frekuensi menjadi 15,4 per 10.000 penduduk. Dari survey berbagai rumah sakit di Indonesia dari tahun 1981-1986 memperlihatkan peningkatan jumlah penderita sekitar 35,8 % yaitu dari 19.596 menjadi 26.606 kasus.
Insiden demam thipoid bervariasi di tiap daerah dan biasanya terkait dengan sanitasi lingkungan ; di daerah rural (Jawa Barat) 157 kasus per 100.000 penduduksedangkan di daerah urban di temukan 760-810 per 100.000 penduduk. Perbedaaninsiden di perkotaan erhubungan erat dengan penyediaan air bersish yang belummemadai serta sanitasi lingkungan dengan pembuangan sampah yang kurang memenuhisarat kesehatan lingkungan.
Case fatality rate (CFR) demam thipoid di tahun 1996 sebesar 1,08 % dari seluruh kematian di Indonesia. Namun demikian berdasarkan hasil Survey Kesehatan Rumah Tangga Departemen RI (SKRT depkes RI) tahun 1995 demam thipoid tidak termasuk dalam sepuluh penyakit dengan mortalitas tertinggi.

1.2         Rumusan Masalah
Bagaimanakah asuhan keperawatan pada pasien dengan demam thypoid ?



1.3         Tujuan
1.3.1   Umum
Menjelaskan asuhan keperawatan pada pasien dengan demam thypoid
1.3.2   Khusus
a.    Menjelaskan definisi demam thypoid
b.    Menjelaskan etiologi demam thypoid
c.    Menjelaskan klasifikasi demam thypoid
d.   Menjelaskan patofisiologi demam thypoid
e.    Menjelaskan manifestasi klinis demam thypoid
f.     Menjelaskan pemeriksaan penunjang demam thypoid
g.    Menjelaskan penatalaksanaan medis demam thypoid
h.    Menjelaskan komplikasi demam thypoid
i.      Menjelaskan askep pasien dengan demam thypoid

1.4         Manfaat
1.4.1   Manfaat teorotis
Menambah pengetahuan tentang penatalaksanaan pada pasien dengan demam thypoid.
1.4.2   Manfaat praktis
a.    Tenaga keperawatan
Agar tenaga keperawatan mampu menerapkan dan melaksanakan asuhan keperawatan.
b.   Mahasiswa
Agar mahasiswa menambah referensi tentang demam thypoid








BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1     Definisi
Demam tifoid atau thypoid fever atau thypus abdominalis merupakan penyakit infeksi akut pada saluran pencernaan yang disebabkan oleh kumanSalmonella typhii, ditandai gejala demam satu minggu atau lebih disertai gangguan pada saluran pencernaan dan dengan atau tanpa gangguan kesadaran (T.H. Rampengan dan I.R. Laurentz, 1995). Penularan penyakit ini hampir selalu terjadi melalui makanan dan minuman yang terkontaminasi.

2.2     Etiologi
Penyakit ini disebabkan oleh infeksi kuman Samonella Thypiia/Eberthela Thypii yang merupakan kuman negatif, motil dan tidak menghasilkan spora, hidup baik sekali pada suhu tubuh manusia maupun suhu yang lebih rendah sedikit serta mati pada suhu 700C dan antiseptik.
Salmonella mempunyai tiga macam antigen, yaitu antigen O (Ohne Hauch) merupakan somatik antigen (tidak menyebar) ada dalam dinding sel kuman, antigen H (Hauch, menyebar) terdapat pada flagella dan bersifat termolabil dan antigen V1(kapsul) merupakan kapsul yang meliputi tubuh kuman dan melindungi O antigen terhadap fagositosis. Ketiga jenis antigen ini di manusia akan menimbulkan tiga macam antibodi yang lazim disebut aglutinin.

2.3     Patofisiologi
Kuman Salmonella masuk bersama makanan atau minuman yang terkontaminasi, setelah berada dalam usus halus mengadakan invasi ke jaringan limfoid usus halus (terutama plak peyer) dan jaringan limfoid mesenterika. Setelah menyebabkan peradangan dan nekrosis setempat kuman lewat pembuluh limfe masuk ke darah (bakteremia primer) menuju organ retikuloendotelial sistem (RES) terutama hati dan limpa. Di tempat ini kuman difagosit oleh sel-sel fagosit retikuloendotelial sistem (RES) dan kuman yang tidak difagosit berkembang biak.
Pada akhir masa inkubasi 5-9 hari kuman kembali masuk ke darah menyebar ke seluruh tubuh (bakteremia sekunder) dan sebagian kuman masuk ke organ tubuh terutama limpa, kandung empedu yang selanjutnya kuman tersebut dikeluarkan kembali dari kandung empedu ke rongga usus dan menyebabkan reinfeksi usus. Dalam masa bakteremia ini kuman mengeluarkan endotoksin. Endotoksin ini merangsang sintesa dan pelepasan zat pirogen oleh lekosit pada jaringan yang meradang. Selanjutnya zat pirogen yang beredar di darah mempengaruhi pusat termoregulator di hipothalamus yang mengakibatkan timbulnya gejala demam.
Makrofag pada pasien akan menghasilkan substansi aktif yang disebut monokines yang menyebabkan nekrosis seluler dan merangsang imun sistem, instabilitas vaskuler, depresi sumsum tulang dan panas. Infiltrasi jaringan oleh makrofag yang mengandung eritrosit, kuman, limfosist sudah berdegenerasi yang dikenal sebagai tifoid sel. Bila sel ini beragregasi maka terbentuk nodul terutama dalam  usus halus, jaringan limfe mesemterium, limpa, hati, sumsum tulang dan organ yang terinfeksi.
Kelainan utama yang terjadi di ileum terminale dan plak peyer yang hiperplasi (minggu I), nekrosis (minggu II) dan ulserasi (minggu III). Pada dinding ileum terjadi ulkus yang dapat menyebabkan perdarahan atau perforasi intestinal. Bila sembuh tanpa adanya pembentukan jaringan parut.

2.4     Manifestasi Klinis
Masa inkubasi 7-20 hari, inkubasi terpendek 3 hari dan terlama 60 hari (T.H. Rampengan dan I.R. Laurentz, 1995). Rata-rata masa inkubasi 14 hari dengan gejala klinis sangat bervariasi dan tidak spesifik (Pedoman Diagnosis dan Terapi, Lab/UPF Ilmu Penyakit Dalam RSUD Dr. Soetomo Surabaya, 1994).
Walaupun gejala bervariasi secara garis besar gejala yang timbul dapat dikelompokan dalam : demam satu minggu atau lebih, gangguan saluran pencernaan dan gnagguan kesadaran. Dalam minggu pertama : demam, nyeri kepala, anoreksia, mual, muntah, diare, konstipasi dan suhu badan meningkat (39-410C). Setelah minggu kedua gejala makin jelas berupa demam remiten, lidah tifoid dengan tanda antara lain nampak kering, dilapisi selaput tebal, dibagian belakang tampak lebih pucat, dibagian ujung dan tepi lebih kemerahan. Pembesaran hati dan limpa, perut kembung dan nyeri tekan pada perut kanan bawah dan mungkin disertai gangguan kesadaran dari ringan sampai berat seperti delirium.
Roseola (rose spot), pada kulit dada atau perut terjadi pada akhir minggu pertama atau awal minggu kedua. Merupakan emboli kuman dimana di dalamnya mengandung kuman salmonella.

2.5     Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan penunjang pada klien dengan typhoid adalah pemeriksaan laboratorium, yang terdiri dari :
1.     Pemeriksaan leukosit
Di dalam beberapa literatur dinyatakan bahwa demam typhoid terdapat leukopenia dan limposistosis relatif tetapi kenyataannya leukopenia tidaklah sering dijumpai. Pada kebanyakan kasus demam typhoid, jumlah leukosit pada sediaan darah tepi berada pada batas-batas normal bahkan kadang-kadang terdapat leukosit walaupun tidak ada komplikasi atau infeksi sekunder. Oleh karena itu pemeriksaan jumlah leukosit tidak berguna untuk diagnosa demam typhoid.
2.     Pemeriksaan SGOT dan SGPT
SGOT dan SGPT pada demam typhoid seringkali meningkat tetapi dapat kembali normal setelah sembuhnya typhoid.
3.     Biakan darah
Bila biakan darah positif hal itu menandakan demam typhoid, tetapi bila biakan darah negatif tidak menutup kemungkinan akan terjadi demam typhoid. Hal ini dikarenakan hasil biakan darah tergantung dari beberapa faktor :
      Teknik pemeriksaan Laboratorium
Hasil pemeriksaan satu laboratorium berbeda dengan laboratorium yang lain, hal ini disebabkan oleh perbedaan teknik dan media biakan yang digunakan. Waktu pengambilan darah yang baik adalah pada saat demam tinggi yaitu pada saat bakteremia berlangsung.
      Saat pemeriksaan selama perjalanan Penyakit
Biakan darah terhadap salmonella thypi terutama positif pada minggu pertama dan berkurang pada minggu-minggu berikutnya. Pada waktu kambuh biakan darah dapat positif kembali.
      Vaksinasi di masa lampau
Vaksinasi terhadap demam typhoid di masa lampau dapat menimbulkan antibodi dalam darah klien, antibodi ini dapat menekan bakteremia sehingga biakan darah negatif.
      Pengobatan dengan obat anti mikroba
Bila klien sebelum pembiakan darah sudah mendapatkan obat anti mikroba pertumbuhan kuman dalam media biakan terhambat dan hasil biakan mungkin negatif.
4.     Uji Widal
Uji widal adalah suatu reaksi aglutinasi antara antigen dan antibodi (aglutinin). Aglutinin yang spesifik terhadap salmonella thypi terdapat dalam serum klien dengan typhoid juga terdapat pada orang yang pernah divaksinasikan. Antigen yang digunakan pada uji widal adalah suspensi salmonella yang sudah dimatikan dan diolah di laboratorium. Tujuan dari uji widal ini adalah untuk menentukan adanya aglutinin dalam serum klien yang disangka menderita typhoid. Akibat infeksi oleh salmonella thypi, klien membuat antibodi atau aglutinin yaitu :
*  Aglutinin O, yang dibuat karena rangsangan antigen O (berasal dari tubuh kuman).
*  Aglutinin H, yang dibuat karena rangsangan antigen H (berasal dari flagel kuman).
*  Aglutinin Vi, yang dibuat karena rangsangan antigen Vi (berasal dari simpai kuman)
Dari ketiga aglutinin tersebut hanya aglutinin O dan H yang ditentukan titernya untuk diagnosa, makin tinggi titernya makin besar klien menderita typhoid.

2.6     Penatalaksanaan
1.        Tirah baring atau bed rest.
2.        Diit lunak atau diit padat rendah selulosa (pantang sayur dan buahan), kecuali komplikasi pada intestinal.
3.        Obat-obat :
a.    Antimikroba :
-       Kloramfenikol 4 X 500 mg sehari/iv
-       Tiamfenikol 4 X 500 mg sehari oral
-       Kotrimoksazol 2 X 2 tablet sehari oral (1 tablet = sulfametoksazol 400 mg + trimetoprim 80 mg) atau dosis yang sama iv, dilarutkan dalam 250 ml cairan infus.
-       Ampisilin atau amoksisilin 100 mg/kg BB sehari oral/iv, dibagi dalam 3 atau 4 dosis.
Antimikroba diberikan selama 14 hari atau sampai 7 hari bebas demam.
b.    Antipiretik seperlunya
c.    Vitamin B kompleks dan vitamin C
4.        Mobilisasi bertahap setelah 7 hari bebas demam.


2.7     Komplikasi
     Perdarahan intestinal, perforasi intestinal, ileus paralitik, renjatan septik, pielonefritis, kolesistisis, pneumonia, miokarditis, peritonitis, meningitis, ensefalopati, bronkitis, karir kronik.




























Kuman Salmonella typhii
masuk ke saluran cerna

2.8     WOC

 































BAB 3
CASE STUDY

Kasus :
Tn. T (6 tahun) BB : 30 kg, di bawa ke UGD RS Gambiran karena demam tidak turun, pagi turun sore malam naik lagi, mual muntah, setelah dilakukan pemeriksaan oleh perawat didapatkan data mukosa bibir kering, turgor kulit jelek, pasien tampak lemah, T : 40oC, N : 90 x/menit, RR : 23 x/menit. Pasien tampak berkeringat, keluaran urin sedikit hanya 500 cc /jam. Lidah kotor. Pasien didiagnosa demam thypoid.

3.1 Pengkajian
3.1.1    Anamnesa
a. Identitas
Nama                            : Tn. T
Tempat tanggal lahir     : -
Jenis kelamin                 : Laki-laki
Umur                             : 6 tahun
Pendidikan                    : SD
Pekerjaan                      :
Status                            :
Agama                          :
Alamat                          :
Tanggal MRS                :
No. RM                         :
Diagnosa Medis            : Demam Thypoid
b.  Keluhan utama              :          Demam
c.  Riwayat kesehatan
         Riwayat penyakit sekarang
Sejak kapan pasien sudah merasa tidak enak badan dan kurang nafsu makan, disertai dengan sakit kepala, badan panas, mual dan ada muntah. Panas berkurang setelah minum obat parasetamol, tapi hanya sebentar kemudian panas lagi.
         Riwayat penyakit dahulu
Menanyakan apakah sebelumnya pasien pernah mengalami penyakit seperti sekarang ini, apakah pasien pernah dirawat di RS, atau pernah sakit biasa seperti flu, pilek dan batuk, dan sembuh setelah minum obat biasa yang dijual di pasaran.
         Riwayat penyakit keluarga
Menanyakan apakah ada dalam keluarga pasien yang pernah sakit seperti pasien.
3.1.2    Pemeriksaan Fisik
a.       Keadaan umum
Mengkaji kesadaran dan keadaan umum pasien. Kesadaran pasien perlu di kaji dari sadar – tidak sadar (composmentis – coma) untuk mengetahui berat ringannya prognosis penyakit pasien
         Suhu : 40oc
         Nadi : 90 x/menit
         RR : 23 x/menit
b.      Tanda-tanda vital dan pemeriksaan persistem
Suhu : 40oc, Nadi : 90 x/menit, RR : 23 x/menit
1.     B1 (breath)
    Bentuk dada : simetris
    Pola nafas : teratur
    Suara nafas : tidak ada bunyi nafas tambahan
    Sesak nafas : tidak ada sesak nafas
    Retraksi otot bantu nafas : tidak ada
    Alat bantu pernafasan : tidak ada alat bantu pernafasan
2.     B2 (Blood)
    Irama jantung : teratur
    Nyeri dada : tidak ada
    Bunyi jantung : tidak ada bunyi jantung tambahan
    Akral : Tangan bentuk simetris, tidak ada peradangan sendi dan oedem, dapat bergerak dengan bebas, akral hangat, tangan kanan terpasang infus. Kaki bentuk simetris, tidak ada pembatasan gerak dan oedem, akral hangat.
3.    B3 (Brain)
    Penglihatan (mata) : Gerakan bola mata dan kelopak mata simetris, konjungtiva tampak anemis, sklera putih, pupil bereaksi terhadap cahaya, produksi air mata (+), tidak menggunakan alat bantu penglihatan.
    Pendengaran (telinga) : Bentuk D/S simetris, mukosa lubang hidung merah muda, tidak ada cairan dan serumen, tidak menggunakan alat bantu, dapat merespon setiap pertanyaan yang diajukan dengan tepat.
    Penciuman (hidung) : Penciuman dapat membedakan bau-bauan, mukosa hidung merah muda, sekret tidak ada, tidak ada terlihat pembesaran mukosa atau polip.
    Kesadaran : kompos mentis
4.    B4 (Bladder)
    Kebersiahan : bersih
    Bentuk alat kelamin : normal
    Uretra : normal
    Produksi urin : tidak normal (sedikit) 500 cc/jam, buang air kecil tidak menentu, rata-rata 4-6x sehari, tidak pernah ada keluhan batu atau nyeri.
5.    B5 (Bowel)
    Nafsu makan : anoreksia
    Porsi makan : ¼ porsi
    Mulut : Mukosa bibir kering, lidah tampak kotor (keputihan), gigi lengkap, tidak ada pembengkakan gusi, tidak teerlihat pembesaran tonsil
    Mukosa: pucat
6.    B6 (Bone)
    Kemampuan pergerakan sendi : normal
    Kondisi tubuh : kelelahan, malaise, lemah
           
3.2  Analisa Data
Analisa Data
Etiologi
Masalah
Keperawatan
Diagnosa
Keperawatan
Data Subjektif
1.     Demam (panas naik  turun)
2.     Mual
3.     Muntah

Data Objektif
1.     Mukosa bibir kering
2.     Turgor kulit jelek
3.     Pasien tampak lemah
4.     Lidah tampak kotor
5.     Keluaran urin 500 cc/24 jam
6.     T : 40oc
7.     N : 90 x/m
8.     RR : 23x/m
9.     Berkeringat
Kuman Salmonella typhii
masuk ke saluran cerna


Sebagian dimusnahkan
Asam lambung





Peningkatan asam
lambung





Mual, Muntah





MK  =  Kekurangan Volume   Cairan
Kekurangan volume cairan
Berhubungan dengan asupan cairan yang tidak adekuat.
Data Subjektif
1.     Demam (panas naik  turun)

Data Objektif
1.     Mukosa bibir kering
2.     Turgor kulit jelek
3.     Pasien tampak lemah
4.     Lidah tampak kotor
5.     T : 40oc
6.     N : 90 x/m
7.     Berkeringat

Kuman Salmonella typhii
masuk ke saluran cerna

Sebagian masuk
Ke usus halus



Ileun terminalis
 


Sebagian menembus
lamina propia
 


Masuk aliran limfe



Menembus dan masuk aliran darah

Hipothalamus

Demam



Peningkatan
Suhu tubuh
 


MK = Hipertermi
Hipertermi
Berhubungan dengan proses infeksi

3.3  Diagnosa
1.      Kurangnya volume cairan berhubungan dengan kurangnya intake cairan dan peningkatan suhu tubuh
2.      Hipertermi berhubungan dengan proses infeksi

3.4 Prioritas Masalah
1.      Kurangnya volume cairan berhubungan dengan kurangnya intake cairan dan peningkatan suhu tubuh.

3.5    Planning
No.
Diagnosa Keperawatan
Intervensi
Rasional
1.
Kekurangan volume cairan berhubungan dengan asupan cairan yang tidak adekuat.
Tujuan :   asupan cairan adekuat dalam jangka waktu 1 x 24 jam
Kriteria Hasil:
-  Memiliki keseimbangan asupan dan haluaran yang seimbang dalam 24 jam.
-  Menampilkan hidrasi yang baik misalnya membran mukosa yang lembab.
-  Memiliki asupan cairan oral dan atau intravena yang adekuat.
1.     Kaji tanda-tanda dehidrasi.
2.     Berikan minum per oral sesuai toleransi.
3.     Atur pemberian cairan infus sesuai order.
4.     Ukur semua cairan output (muntah, urine, diare). Ukur semua intake cairan.
Intervensi lebih dini

Mempertahankan intake yang adekuat
Melakukan rehidrasi

Mengatur keseimbangan antara intake dan output
2.
Hipertermi  berhubungan dengan proses infeksi.
Tujuan : mempertahankan suhu tubuh dalam barts normal pada jangka waktu 1x24 jam
    Kriteria Hasil:
    Suhu antara 36o-37o c
    RR dan nadi dalam batas normal
    Membran mukosa lembab
    Kulit dingin dan bebas dari keringat yang berlebih.
    Pakaian dan tempat tidur pasien kering
1.     Monitor tanda-tanda infeksi.

2.     Monitor tanda-tanda vital tiap 2 jam.





3.     Berikan suhu lingkungan yang nyaman bagi pasien. Kenakan pakaian tipis pada pasien.

4.     Kompres dingin pada daerah yang tinggi aliran darahnya.
5.     Berikan cairan iv sesuai order atau anjurkan intake cairan yang adekuat.
6.     Berikan antipiretik, jangan berikan aspirin.

7.     Monitor komplikasi neurologis akibat demam.
Infeksi pada umumnya menyebabkan peningkatan suhu tubuh
Deteksi resiko peningkatan suhu tubuh yang ekstrem, pola yang dihubungkan dengan patogen tertentu, menurun dihubungkan dengan resolusi infeksi.
Kehilangan panas tubuh melalui konveksi dan evaporasi


Memfasilitasi kehiliangan panas lewat konveksi dan konduksi.
Menggantikan cairan yang hilang lewat keringat.

Aspirin bersiko terjadi perdarahanGI yang menetap.
Febril dan enselopati bisa terjadi bila suhu tubuh yang meningkat.


                                                           
3.6         Implementasi
1.      Diagnosa 1 : Kekurangan volume cairan berhubungan dengan asupan cairan yang tidak adekuat.
  Mengkaji tanda-tanda dehidrasi.
  Memberikan minum per oral sesuai toleransi.
  Mengatur pemberian cairan infus sesuai order.
  Mengukur semua cairan output (muntah,urine, diare), dan mengukur semua intake.
2.      Diagnosa 2 : Hipertermi berhubungan dengan proses infeksi.
  Memonitor tanda-tanda infeksi.
  Memonitor tanda-tanda vital setiap 2 jam.
  Memberikan suhu lingkungan yang nyaman pada pasien serta memakaikan pakaian tipis.
  Mengkompres dingin pada daerah yang tinggi aliran darahnya.
  Memberikan cairan iv sesuai order atau memnganjurkan intake cairan yang adekuat.
  Memberikan antipiretik.
  Memonitor komplikasi neurologis.

3.7         Evaluasi
Diagnosa 1:
S     :  Pasien menunjukkan hidrasi yang baik
O    :  TTV normal, intake dan output cairan seimbang.
A    :  Masalah teratasi
P     :  Pasien pulang

Diagnosa 2:
S     :  Pasien mengatakan tidak demam lagi
O    :  TTV normal, membran mukosa lembab, kulit dingin dan bebas dari keringan yang berlebih, pakaian dan tempat tidur pasien kering.
A    :  Masalah teratasi
P     :  Pasien pulang

No comments:

Post a Comment